Sidang putusan kasus korupsi dana hibah GMIM dengan terdakwa Jeffry Korengkeng (Inset: Akademisi Boyke Rorimpandey)
MANADO, Poskomanado.co.id — Putusan majelis hakim terhadap lima terdakwa dalam perkara korupsi dana hibah Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara kepada Sinode GMIM, Rabu (10/12/2025), seakan menjadi penanda bahwa perjalanan panjang penyidikan kasus ini akhirnya mencapai titik terang.
Setelah hampir empat bulan persidangan, isu politik yang sempat mengiringi proses hukum ini terjawab; penyidik Subdit III Tipidkor Polda Sulut membuktikan bahwa perkara ini murni tindak pidana, berdasar alat bukti dan fakta persidangan.
Namun di balik tebalnya berkas perkara, ratusan saksi, hingga tumpukan alat bukti, terdapat suara jemaat GMIM yang dengan cermat mengikuti perkembangan kasus ini. Bagi sebagian mereka, peristiwa ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga ujian bagi integritas dan keteguhan pelayanan gereja.
Sejak sidang dibuka pada 29 Agustus 2025, publik mengikuti setiap agenda dengan perhatian yang tak biasa. Lima terdakwa—Jeffry Korengkeng, Freydey Kaligis, Asiano Gemmy Kawatu, Steve Kepel, dan Pdt. Hein Arina, datang bergantian ke ruang sidang untuk mendengarkan dakwaan, pemeriksaan saksi, dan berbagai rangkaian agenda lainnya.
Puncaknya, majelis hakim menjatuhkan putusan berbeda kepada masing-masing terdakwa, Jeffry Korengkeng dan Freydey Kaligis: 1 tahun 4 bulan penjara. Asiano Gemmy Kawatu dan Steve Kepel: 1 tahun 8 bulan penjara, sedangkan Pdt. Hein Arina: 1 tahun penjara.
Putusan tersebut menguatkan keyakinan penyidik bahwa mereka bekerja di jalur yang tepat. Tidak ada intervensi, tidak ada kepentingan lain, selain mengungkap kebenaran hukum.
Selama dalam proses penyidikan hingga pelimpahan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Sulut, Sinode GMIM telah mengembalikan kerugian negara sebesar Rp8,9 miliar, sesuai perhitungan audit investigatif BPKP Sulut. Dana tersebut akan masuk ke kas daerah dan dicatat sebagai PAD Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara.
Bagi penyidik Tipidkor, ini merupakan salah satu indikator bahwa perkara ditangani secara tuntas. Seluruh penyidik Subdit Tipidkor bekerja hanya dalam waktu dua bulan untuk memeriksa lebih dari 100 saksi dan menelaah hampir 400 alat bukti. Kerja maraton ini diganjar apresiasi publik karena berhasil menyelamatkan uang negara dan menepis keraguan bahwa kasus ini bermuatan politik.
Di sisi lain, jemaat GMIM merespons kasus ini dengan sikap yang lebih reflektif. Mereka memahami bahwa pelanggaran hukum adalah tanggung jawab personal, bukan institusi gereja secara keseluruhan.
Salah satu suara yang mencuat datang dari Boyke Rorimpandey, pelayan khusus yang telah 25 tahun dipercaya sebagai Penatua. Ia mengikuti perkembangan kasus ini dengan keprihatinan mendalam.
“Saya sangat prihatin dengan kasus ini. Putusan majelis hakim berarti memang ada pelanggaran hukum yang dilakukan para terdakwa,” ujarnya saat ditemui.
“Walaupun demikian, saya yakin warga GMIM tetap melaksanakan panggilan tugas pelayanan. Menjelang Natal 2025, jemaat tidak akan terpengaruh oleh perbuatan lima terdakwa ini. Itu tanggung jawab pribadi mereka.”
Pernyataan Boyke mewakili banyak suara jemaat yang berharap kasus hukum ini menjadi pelajaran, sekaligus momentum memperbaiki tata kelola internal, terutama dalam pengelolaan dana besar.
Di tengah terpaan isu dan sorotan publik, aktivitas pelayanan di jemaat GMIM terus berlangsung. Dari ibadah adven, persiapan liturgi Natal, hingga pelayanan sosial bagi warga kurang mampu, semuanya tetap hidup dalam ritme gereja yang solid.
Kasus ini memang besar, tetapi tidak cukup besar untuk memadamkan semangat jemaat. Justru sebaliknya—banyak pihak berharap peristiwa ini menjadi titik balik menuju tata kelola yang lebih transparan dan akuntabel, baik di tubuh GMIM maupun instansi pemerintah.
Di ruang sidang, perkara ini telah menemukan ujungnya. Namun di ruang-ruang ibadah, di tengah jemaat, harapan untuk memperbaiki diri terus menyala. Putusan hakim menutup satu bab, tetapi membuka ruang bagi refleksi yang lebih luas: bagaimana institusi sebesar GMIM dan pemerintah dapat memastikan bahwa pelayanan, kepercayaan, dan integritas tetap menjadi fondasi utama dalam mengelola amanah publik.(dinand)












